Senangnya Bisa Berbuat Baik


Senangnya Bisa Berbuat Baik

“Bi, tolong ambilkan saya baju sekolah dong. Telat nih!” kata Angie sambil berteriak – teriak saat melihat baju sekolah yang biasanya ada di kursi belajarnya setiap Senin, tapi waktu itu tidak ada. ”Iya non, sabar. Bibi lagi masak. Tunggu sebentar ya, non,” kata Bi Inah sambil tergopoh – gopoh dalam mempersiapkan sarapannya Angie. ”Ah, bibi kelamaan!” kata Angie sambil berteriak, lalu ia mengambil bajunya sendiri dengan terpaksa di lemarinya.
                ”Non, maaf non, tadi nyonya suruh saya masak buat sarapan nanti. Maap ya non!” kata Bi Inah dengan rasa bersalah yang luar biasa. Angie cemberut. Tanpa berkomentar, ia pun langsung mengambil sarapannya, dan segera pergi ke Pak Karjo dengan tergesa – gesa. ”Ma, aku berangkat dulu ya. Sudah terlambat. Daah..,” katanya sambil melambai – lambai tangannya dari kaca mobil Jazznya.
                Nasib mujur, ia belum terlambat. ”Terima kasih pak. Saya duluan,” pamit Angie pada supirnya itu. ”Ati – ati, non. Sukses ya,” kata Pak Karjo, lalu ia menjalankan mobilnya pulang ke rumah. Angie berlari tergopoh – gopoh menuju kelas XIS2 SMA Harapan Bangsa di lantai 2. ”Fiuh, nyaris saja,” katanya sambil ia mengelap peluhnya yang hanya satu.
                ”Bapa, kami mengucap syukur buat pagi ini. Kami datang di hadiratMu membawa anak – anakMu datang, Tuhan. Kami mau berdoa buat teman kami, kakak kami, anak kami Mia yang sedang dirudung duka karena sang ayah telah Engkau panggil. Kiranya ya Bapa beri kekuatan kepada keluarga Mia, agar menghadapi dengan tabah, dan selalu berharap padaMu. Berkati ya Tuhan segenap staff, guru – guru dan karyawan, serta satpam. Terima kasih Tuhan. Kami serahkan hari ini sepenuhnya hanya ke dalam tanganMu. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.” Saat ’amin’, anak – anak kelas XIS2 terlihat khusuk, karena tidak menyangka ayah Mia dipanggil Tuhan secepat itu. Padahal 2 hari yang lalu, ayah Mia masih kelihatan segar saat tim besuk XIS2 mengunjunginya. Namun, 2 hari kemudian, kehendak Tuhan berkata lain.
                Sementara yang lain sedang khusuk – khusuknya, Angie malah tertidur dengan mp3 di telinganya. ”Ngie, bangun. Sudah selesai doanya,” kata Rani, teman sebelahnya. ”Oahm...,” katanya sambil mulet – mulet. Bu Eka, guru yang mengajar di jam pertama itu hanya bisa geleng – geleng kepala. ”Anak – anak, demi membantu teman kita yang sedang kesusahan, baiklah kita saatnya memberikan sebagian yang kita punyai untuk teman kita, Mia. Ini tidak dipaksa, melainkan sesuai dengan kerelaan hati kalian,” kata Bu Eka, sambil memberikan kantong kolekte kepada salah satu anak di depannya.
                Saat kantong kolekte berjalan ke arah Angie, Angie cuek saja. ”Heh, nggak ngasih kenapa?” tanya Rani basa basi saat sesudah kantong kolekte itu kembali ke tangan gurunya. ”Nggak ada uang kecil,” alasan Angie yang sederhana membuat Rani tak berkutik untuk bertanya lagi.
                Tidak terasa bagi Angie, 8 jam berlalu sudah. Ia ingin segera pulang. Seperti biasa, ia menelepon Pak Karjo, minta dijemput. Namun Pak Karjo tidak mengangkat telepon genggamnya. Angie mulai gelisah. ”Kamu kenapa, Ngie?” tanya Aaron, cowok yang menyukai Angie.
                ”N...nggak apapa koq,”
                ” Yakin nggak kenapa- napa? Pulang naik apa? Mau aku antar kamu pulang?
                ”Kamu yakin antar aku pulang? Rumahku berbeda jurusan denganmu”
                ”Tidak masalah. Ayo, segera”
                ”Mmm... boleh, boleh. Antar aku sampai depan terminal aja ya,” kata Angie, yang akhirnya nebeng Aaron naik sepeda motor tanpa helm. ”Yakin kamu turun sini?” tanya Aaron agak ragu. ”Yakin. Thanks ya, sudah mau mengantarku. Hati – hati,” kata Angie, sambil melambaikan tangannya. Aaron pergi dengan ngebutnya sambil meninggalkan Angie yang sendirian.
                Ia berjalan di tengah – tengah keramaian kota. Banyak pengamen – pengamen yang bergaya norak sedang membawa gitarnya mencari angkutan yang dimana ia bisa bekerja. Bau pesing yang menyengat membuat Angie mual. ”Iih.. jorok banget!” kata Angie kontan melihat orang meludah sembarangan. Untungnya orang tersebut tidak mendengar. Kalau mendengar, bisa dibayangkan, Angie bukanlah Angie lagi.
                Karena rumahnya di Jl. Batu Amantis, ia harus naik bus kota sekali, lalu naik becak untuk berjalan pulang ke rumahnya. Dari terminal, ia menunggu selama 25 menit, sambil menikmati hiburan – hiburan yang belum pernah ia nikmati sebelumnya. ”Gak level banget,” kata Angie dalam hati, saat melihat mas – mas mengamen dengan ukulelenya. Karena hiburan menurutnya kurang, maka ia tidak memberikan uang kepada mas – mas itu.
                Hiburan yang kedua, datang dari seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Ia tidak memberi hiburan, ia langsung meminta sepeser uang dari penumpang yang tidak terlalu banyak itu dengan berkata,”Sepurane mas – mas, mbak-mbak. Kula mboten dahar 3dino iki. ( minta belas kasihannya mas-mas, mbak-mbak. Saya belum makan 3 hari ini),” kata ibu itu. ”Ini lagi. Nggak jamannya deh, orang minta – minta. Jaman sekarang tuh kerja,”kata Angie dalam hati, sehingga ia tidak memberikan uang itu kepada ibu dan anaknya itu.
                Bus yang dinaikinya akhirnya jalan juga. Angie benar – benar merasa kepanasan, sampai ia benar – benar mual, karena kali itulah ia pertama naik bus metropolitan, yang panas, berdebu, dan jorok. Karena mualnya tak tertahankan lagi, ia pun muntah pada sebuah plastik hitam yang ia temukan di bawah kakinya. Bapak  yang melihat yang duduk di sebelahnya geleng – geleng kepala.
                Perjalanan 30 menit pulang telah ia lalui dengan susah payah. Ia pun naik becak ke rumahnya yang bertingkat 2. ”Bang, 2ribu aja ya. Uang saya kurang, nih,” kata Angie sambil merogoh – rogoh saku baju dan roknya. ”Yah, non. Masa non tega melihat saya mengayuh becak dengan jarak 3 kilometer hanya dengan dua ribu???” kata abang becaknya sambil tidak terima dengan perlakuan Angie. Karena abang becak cerewet, akhirnya, ia memberikan 10ribu kepadanya, dengan cemberut. ”Nah, ini yang bener non. Nggak dari tadi aja kayak begini. ”kata abang becak menerima uang itu dengan rasa bangga. ”Puas kan sekarang???” kata Angie masuk ke dalam rumahnya sambil membanting pintu pagarnya.
                ”Angie, kamu kenapa? Koq cemberut hari ini?” tanya mamanya, sambil membelai rambut putrinya yang habis di-ion seminggu yang lalu. ”Ngga tau nih ma. Hari ini minta – minta terus. Minta sumbangan lah, minta sedekah lah. Gak penting poll. Ngabisin duitku aja,” kata Angie sambil cemberut, karena ia kehilangan uang saku sebesar sepuluh ribu + dua ribu hanya untuk angkot. ”Sangu Angie berkurang nih ma,” katanya sambil menunjukkan dompet yang berisi struk – struk belanja, kartu kredit dan pelajar, dan kartu pelanggan Strawberry-nya.
                Mamanya hanya bisa geleng – geleng kepala. ”Anakku, ada kabar buruk buat kamu,” kata mamanya kemudian setelah melihat jumlah uang yang berkurang yang, ehm, tidak terlalu banyak. ”Apa memang, ma?” tanya Angie, penasaran dan setengah takut. ”Begini, Bi Inah ijin sama mama pulang kampung, karena anaknya sakit keras. Terus Pak Karjo juga ijin, karena istrinya yang di luar kota melahirkan. Kalau Pak Karjo ijinnya seminggu, kalau Bi Inah kira – kira sampai penyakit anaknya benar – benar sembuh,” kata mamanya menjelaskan.
                Mendengar hal itu, Angie langsung tidak terima. ”Lho, mama ngapain ngijinin Bi Inah pulang? Terus, siapa yang akan menggantikannya? Angie harus ada yang bantuin,” kata Angie seraya mau mengeluarkan air matanya. ”Kamu to? Belajar mandiri, seperti mama,” jawab mamanya santai. ”Ah, mama ini. Terlalu memanjakan orang. Baru anaknya sakit keras, udah diijinin pulang. Apalagi Pak Karjo. Pak Karjo sih mending, seminggu. Tapi Bi Inah??? Nggak tau diri. Nggak niat kerja,” jawab Angie sambil ke kamarnya dengan menutup pintu keras – keras.
                Dalam kamarnya, Angie menangis tersedu – sedu.”Siapa yang menyiapkan baju? Siapa yang masak air panas untuk aku mandi? Siapa yang masak sarapan buat aku? Siapa yang menyuci dan menyetrika bajuku???” tanya Angie dalam hatinya, sambil menangis.
                Dengan perlahan – lahan sang papa membuka pintu kamar Angie pelan – pelan. ”Angie sayang, kamu kenapa?” tanya papanya dengan lembut. Angie tidak bisa cerita karena air matanya terlanjur meleleh. Papanya memeluk dan merangkul, ” Sudahlah sayang, jangan menangis. Ini mungkin juga pelajaran buat kamu, supaya kamu mandiri, dan belajar peka terhadap orang – orang yang memerlukan bantuanmu. Belajar supaya kamu punya rasa belas kasihan.”
                ”Tapi pa, siapa yang masak air, masak sarapan, mencuci dan lain – lain? Masa Angie semua? Nggak sanggup,” jawab Angie semakin meleleh air matanya. Papanya hanya diam, dan memeluk anak semata wayangnya itu.
                Maklumlah, Angie merupakan satu – satunya anak tunggal dari keluarga kaya, seorang pengusaha kain. Kehidupan mewah dan glamor pun menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, hingga remaja sekarang. Ia selalu dimanja. Minta beli apa, selalu dibelikan. Tidak ada permintaan yang tidak dituruti oleh kedua orangtuanya. Namun, belakangan ini, orang tuanya mulai mendidiknya dengan cara yang ia tidak sukai kali ini. Ia harus kehilangan pembantu dalam jangka waktu yang lumayan lama.
************************************
                Pagi yang cerah. Matanya lengket, serasa tidak bisa dibuka. ”Angie, bangun. Sudah pagi,” kata mamanya membangunkan Angie yang mendengkur. ”Kasihan anak mama. Maaf, nak mama lakukan ini supaya hatimu tidak kebal terhadap lingkunganmu,” kata mamanya dalam hati, sambil mengusik – usik Angie yang sedang tertidur lelap.
                10 menit telah berlalu, namun Angie belum bangun juga. Kesabaran mamanya pun habis sudah. Ia mencelupkan tangannya ke bak mandi Angie, lalu ia menyemburkan percikan air itu dekat matanya, membuat ia terbangun. ”Duh, apa –apaan sih mama?? Pake acara siram – siraman segala!” omel Angie yang terbangun dari tidurnya. ”Habisnya kamu tidur terus. Kalau begini, gimana caranya Bi Inah bisa kembali bekerja di rumah ini? Cepat mandi!! Mama sudah masakan air panas buatmu. Nanti airnya dingin, mama tidak mau masak lagi,” kata mamanya membangunkan sambil membawa handuk Angie. Angie berlari ke kamar mandi tanpa berdoa dan saat teduh dulu. ”Nanti habis mandi, jangan lupa saat teduh ya! Awas kalau tidak!” kata mamanya sedikit mengancam. Angie yang setengah sadar, langsung melempar gayung yang ada di kamar mandinya itu, tanda rasa emosi yang mendalam.
                ”Ngie ada apa denganmu? Suntuk banget?” tanya teman – teman se-ganknya menyapanya. Angie tidak menjawab. ”Eh, ini serius loh! Sapa tau kita bisa bantuin masalahmu,” kata Lala. Karena didesak teman – temannya, akhirnya Angie cerita juga, apa yang dia alami. ”Owalah.. aku ya turut berduka cita juga atas pengalaman yang kamu alami. Tapi, maaf banget, kita nggak bisa bantu kalo yang ini,” kata Lala, dengan nada sedih. ”Kalau itu sih nggak masalah. Yang masalahnya, mungkin aku bakalan nggak diijin terus jalan – jalan sama kalian, karena harus membantu sang bunda.. Begitu,” kata Angie dengan mata yang berkaca – kaca. Teman – temannya hanya bisa merangkulnya. ”Ya kalau begitu nggak papa. Semoga berhasil menjalaninya, ya,” kata Echa, temannya yang lain.
                Pelajaran yang terakhir sudah berlalu. Hatinya merasa lega sekaligus senang, dan ketakutan. ”Aduh, mbantuin mama,” keluhnya dalam hati, berbarengan dengan bunyi bel sekolahnya. ”Naik angkot lagi. Haduh. Kenapa harus kayak gini? Ketemu dengan orang – orang menjijikan,” omelnya dalam hati. Mukanya hampir menunjukkan tangisan. Karena Echa tidak tega melihat sahabatnya seperti itu, ia pun menawarkan Angie untuk naik mobilnya, Honda CR-V. ”Yakin? Terima kasih ya. Sahabat yang baik kamu,” kata Angie sedikit merasa lega.
                ”Angie, kamu tau nggak alasanku mengantarmu?” tanya Echa memulai pembicaraan setelah sekian menit hening. Angie menggeleng. ”Aku tuh kepingin kamu punya hati, punya kepedulian begitu. Nah, aku teladankan ini ke kamu. Aku harap kamu menirunya,” jawab Echa panjang lebar. Angie diam. Seakan tak mengerti apa maksud yang disampaikan oleh temannya itu. ”Aku nggak ngerti maksudmu,” jawab Angie seolah – olah tersinggung.
                ”Eehmm. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung loh. Aku hanya ingin kamu punya perasaan peduli tidak hanya dengan teman, namun dengan sesama yang lain juga. Terserah kamu, mau dengar perkataanku atau tidak. Intinya aku sudah bertanggungjawab atas tingkah lakumu,” jelas Echa. ”Hey, kamu tahu darimana aku tidak peduli dengan orang lain?” jawab Angie agak tinggi nadanya. ”Sebelumnya, aku minta maaf kalau perkataanku tadi tidak sesuai dengan fakta mungkin. Tapi aku bermaksud baik koq. Eh, gang rumahmu di mana?” tanya Echa, yang telah memasuki perumahan Multi Artha Graha, kompleks yang termasuk elite di kotanya. ”Belok kiri, terus ada perempatan belok kiri lagi, ada pertigaan belok kanan yang pertama ya,” jawab Angie menjelaskan.
                3 menit kemudian sampailah mereka di depan rumah Angie. ”Makasih ya Cha buat tumpangannya. Terima kasih juga buat ceramahnya tadi. Aku tidak marah koq,” jawab Angie di depan pintu depan mobilnya Echa. ”Sama – sama. Aku harap kamu bisa melakukan saranku tadi.”
                ”Hati – hati ya,” jawab Angie sambil melambaikan tangannya, sementara mobil yang ia tumpangi melaju dengan lumayan kencang. ”Dasar anak pendeta. Nasehat melulu. Ckckckckc,” kata Angie di depan pagar rumahnya berwarna hitam. – Memang, orang tua Echa adalah pendeta di suatu Gereja–. Saat  ia masuk ke rumahnya, rumahnya masih terlihat agak berantakan. Lantai sepertinya sudah dipel dan disapu. Meja tamu belum dibersihkan, laptop dan barang – barang Angie masih berserak di ruang menonton TV itu. Angie menggeleng – geleng kepalanya. Lalu ia masuk ke kamarnya, untuk berganti baju dan bersih – bersih mukanya. Saat ia membuka pintu kamarnya, bed cover-nya masih terbuka dan berantakan, buku – bukunya masih berserakan di spring bed-nya. ”Astaganagaekordua.....,” kata Angie sambil memegang dadanya melihat kondisi kamarnya yang seperti kapal pecah. Angie menarik napas yang panjang. Ia tidak habis pikir, mengapa mamanya tidak mau membereskan kamar tidurnya, dan ruang tamu rumahnya. ”MAMAAAAAAAAAAA.....,” teriak Angie dari kamarnya.
                Mamanya yang tadinya tertidur, mendadak bangun karena suara Angie memanggil dirinya. ”Ada apa toh, nak?” tanya mamanya. ”Ini loh, berantakan semua. Masa mama nggak beresin sih?? Risih aku,” jawab Angie dengan nada ketus. Mamanya tersenyum, dan berkata,”Nah, ini tugasmu. Bantuin mama untuk membereskan semuanya. Nggak susah koq.” Angie terbelalak matanya mendengar ucapan mamanya. ”Mama gila ya? Masa aku harus kerja sebanyak ini?” tanya Angie merasa tidak terima dengan perlakuan mamanya. ”Itu nggak banyak, nak,” jawab mamanya lembut. ”NGGAK BANYAK?? Keterlaluan mama. Masa zaman sekarang anak diperlakukan keras seperti ini? Nggak jaman kali, ma,” berontak Angie sambil membanting tas sekolahnya. Mamanya hanya bisa menggeleng – geleng kepalanya melihat tingkah laku putrinya itu. ”Pokoknya mama nggak mau tau. Kalo kamu tidak selesai pekerjaan ini dalam satu hari, besok nggak usah sangu – sanguan. Titik,” jawab mamanya dengan tegas. Angie mulai cemberut, dan kemudian menangis. Itulah senjata ampuhnya yang keterakhir, namun tidak bisa merubah keputusan mamanya. ”Belajar jadi orang susah ya. Jangan jadi egois. Mama hanya ingin kamu tidak manja dengan segala sesuatu yang ada,” kata mamanya sambil meninggalkan putrinya yang menangis tersedu – sedu.
                ”Mama jahat! Huh!!! Orang tertega di dunia,” kata Angie menangis sambil melempar bantalnya ke kaca. Sambil menangis, ia menelepon temannya, Lala. ”Halo?”
                ”Halo?”
                ”Ini Lala bukan?”
                ”Oh, Lala ada acara gereja. Lupa bawa Hpnya”
                ”Oh ya kalau begitu. Terima kasih.” Tit. Angie pun mencoba menelepon temannya lagi, tapi entah hari itu ia bernasib sial, tak seorangpun yang mengangkat panggilannya. ”Telpon Echa? Ogah ah. Pasti ceramah lagi,” katanya sambil membanting Sonny Ericsson W900i-nya. Iapun menangis lagi. Setelah menangis, tiba – tiba kepalanya mendadak pusing. Pusing karena kamarnya yang seperti kapal pecah. Karena ia tak tahan dengan ke-pusingan-nya, ia pun akhirnya membereskan kamarnya dengan mulut maju 5cm.
                15 menit rapilah kamar Angie, walaupun belum disapu. ”Angie, ayo makan dulu,” teriak mamanya dari lantai bawah. Angie tidak menjawab. Ia masih marah dengan mamanya. Ia segera turun untuk mengambil laptopnya, karena tugas sekolah ia harus kerjakan. Saat melihat ruang tamu yang belum beres, kepalanya mendadak pusing lagi. Karena tak tahan dengan pusingnya, ia pun membereskannya dengan terpaksa. Setelah ia membawa laptopnya naik ke kamarnya, ia segera mencari air minum sebanyak – banyaknya. Kalau ia pusing, sembuhnya hanya bisa dengan 3 gelas air putih dan pemandangan indah dan rapi.
                ”Angie, ayo makan. Nanti maagmu kambuh loh. Nih, mama sudah masak makanan kesukaanmu. Rica – rica ayam superpedas,” kata mamanya melihat putrinya basah kuyup dan bermata bengkak. Angie diam saja, walaupun itu makanan favoritnya. Tanpa ba-bi-bu, ia duduk, mengambil makanannya dan lauknya sebanyak mungkin. Mamanya hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku putrinya seperti itu.
                Tak beberapa lama, ada suara klakson mobil berbunyi dari luar pagarnya. Ternyata itu suara sang papa, yang baru pulang dari kantor. ”Halo sayang, gimana kerjaanya?” tanya istrinya (mamanya Angie, sambil mencium suaminya, dan mengambil barang bawaannya. Suaminya menarik nafas sedalam – dalamnya. ”Papa ada masalah hari ini, ma. Doakan papa, ma, supaya tidak di PHK,” kata suaminya, sambil mengelus – elus rambut istrinya itu.
                Angie sedikit menguping pembicaraan orang tuanya. ”PHK? Papa di-PHK? Nggak mungkin rasanya,” jawab Angie dalam hati, dengan rasa tidak percayanya, dan ia melanjutkan 3 suapan terakhirnya. ”Keluargaku mendadak sial begini...,”kata Angie sedikit menyerah.
                ”Halo sayangku. Gimana kabarnya hari ini?,” tanya papanya menyapanya dengan senyuman dan memeluknya saat ia mengunyah suapan yang terakhir. ”Papa mau tahu kabarku hari ini? Sangat tidak baik sekali dan menyebalkan untuk diceritakan,” jawab Angie panjang lebar. Papanya mengangguk, tanda mengerti apa yang dimaksudkan oleh putrinya itu. ”Iya nak, papa tahu. Berjuang ya, menghadapi semuanya. Jangan pernah malas. Papa ganti dulu,” katanya sambil mengelus rambut putri semata wayangnya.
                Saat Angie meninggalkan piring yang kotor itu di bak cucian piring, suara mamanya membahana dari lantai atas,”Jangan meninggalkan cucian! Setiap makan, wajib mencuci piringnya! Kalau tidak, besok tanpa sangu!!! Ingat!” Lagi – lagi, Angie cemberut, dan melaksanakan tugasnya dengan terpaksa. ”Jijik ah. Hiii,” katanya sambil membuang kotoran bekas makannya itu ke dalam tempat sampah, yang baunya luar biasa sedapnya.
                Setelah cuci piring, ia mandi dan mengerjakan tugas komputernya yang harus dikirim lewat e-mail. ”Awas kalau mama suruh aku lagi,” katanya dalam hati, saat sign in pad web yahoo. Tak beberapa lama kemudian, ada suara memanggil yang amat keras. Siapa lagi kalau bukan mamanya. ”Angie, ada temanmu datang. Bukakan pintu tuh!” teriak mamanya dari tangga. Dengan muka cemberut bercampur kesal, iapun turun, membuka pintu temannya yang masuk. Ternyata Lala, dengan busana sehabis pelayanan ( baju berkerah, bercelana jeans, bersepatu sandal ). ”Eh, Lala, masuk dulu,” katanya sambil membuka pintu rumahnya. ”Permisi tante, om,” kata Lala sambil membungkukan badannya saat melewati ruang tamu. Angie mengajaknya naik ke kamarnya.
                ”Eh, tadi kamu telpon aku ya? Sori ya tadi aku nggak bawa HP,” kata Lala sedikit merasa bersalah. ”Nggak papa. Nyantai aja koq. Sori kamarku agak nggak rapi,” katanya sambil membuka pintu kamarnya. ”Kamarmu rapi. Siapa bilang nggak rapi? Kamu ya yang bersihkan ini? Hebat..,” puji Lala saat melihat kerapian kamar Angie. ”Rapi? Karena aku nggak tahan dengan kekacauan. Dan juga karena sang mama menyuruhku. Kalau tidak, uang sanguku kepotong,” jawab Angie dengan cemberut, sambil utak atik laptopnya. Lala hanya bisa tertawa mendengarnya. ”Hhahaahaha. Aku ya pernah mengalami seperti yang kamu alami,” kata Lala, sambil melihat facebook Angie yang sedang meng-update status ” Mamaku mendadak menjadi galak. Huh!” Di sana banyak sekali teman – teman sekolahnya like akan statusnya, dan banyak juga yang mengomentari. ”Hah? Perasaan kamu nggak pernah cerita tuh ke anak – anak,” kata Angie tak percaya.
                ”Aku kasih tahu ya, Ngie, teman – teman gank kita nggak ada yang baik semua selain Echa. Aku juga pernah jadi seperti kamu. Malah lebih parah. Aku malah nyuci, ngepel, kadang kalau ada waktu suruh kuras WC,” jawab Lala panjang lebar. ”Ah, jangan bercanda kamu ngomong seperti itu. Paling kamu mengarang cerita yang sama seperti aku kondisinya, supaya menghiburku. Iya to?” tanya Angie yang tidak percaya akan ceritanya Lala. ”Kali ini aku serius, ngie. Tanya mamaku kalau tak percaya,” kata Lala meyakinkan perkataannya. Karena Lala belum pernah mengatakan ’tanya mamaku’ sebelum- sebelumnya, akhirnya Angie percaya. Lala mulai cerita pengalamannya, dari awal saat pembantunya minggat nggak jelas, curhat ke Angel and friends, tak ada tanggapan bahkan hiburan dari teman – temannya selain Echa, marah – marah ke orang tuanya karena tidak mau mencarikan pembantu karena alasan yang tidak jelas, papanya di PHK yang untungnya sekarang sudah dapat pekerjaan, sempat tinggal di rumah mungil di pinggir jalan karena orang tua kena PHK, sampai akhirnya Lala bisa mandiri sendiri. ”Aku bangga, karena rumahku nggak ada pembantu,” kata Lala mantap. Angie bengong mendengar sahabatnya berbicara seperti itu. Ia memegang kening sahabatnya itu,” Kamu masih waras kan?” tanya Angie tidak percaya.
                ”Aku waras. Tenang aja. Toh kalo aku gila, aku pasti ada temannya, karena aku juga akan menularkan virusku ini kepadamu. Ciaaat!!” kata Lala sambil memukul kepala Angie dengan guling yang di sebelahnya. ”Hoi, sakit tau!” kata Angie sambil menata rambut panjangnya itu. Lala terkekeh – kekeh. ”Eh, tapi ceritamu beneran ya? Sepertinya aku meragukan kejadiannya,” kata Angie tidak percaya. ”Haha, ya sudah kalau tidak percaya. Tidak memaksa. Aku hanya cerita apa adanya,” jawan Lala dengan santai.
                2 jam telah berlalu. Kesedihan Angie sudah mulai berkurang karena kehadiran Lala yang membawa tawa yang luar biasa kocaknya, yang membuat Angie terhibur. ”Syukurlah,” kata mamanya menarik nafas lega saat melihat putrinya senyum – senyum sendiri, saat menaiki tangga.
                ”Ma, Angie, kita doa sebentar yuk di kamar kita,” kata papanya saat sebelum tidur, saat semuanya sedang menonton TV bersama. Angie cuek saja mendengar perintah papanya. ”Angie, kamu nggak denger papa suruh apa? Ayo doa bersama!” kata mamanya, sambil mematikan TV ruang keluarga. Dengan cemberut, ia pun pergi ke kamar papanya untuk doa bersama. ”Aneh – aneh papa ini,” pikir Angie.
                ”Mama, Angie, papa tidak bermaksud mengganggu zona aman kalian. Papa hanya ingin kepedulian kalian dalam membantu papa. Dengan doa saja, stress papa sudah sedikit berkurang. Papa benar – benar butuh bantuan doa kalian, ya. Ada teman sekerja papa yang tidak suka dengan papa, sehingga ia memfitnah papa dengan tuduhan yang tidak – tidak. Ini sudah kesekian kalinya papa difitnah seperti ini. Mama dan Angie bisa bantu doa papa untuk ini semua, karena papa percaya dengan kuasa doa, semuanya akan tersingkapkan mana yang benar,” kata papa sebelum memulai doanya. Angie dan mamanya mengangguk. ”Mama, bisa mimpin doa buat kita semua?” tanya papa setelah sekian lama hening dan tutup mata. Mamanya pun memimpin doa.
                Malam itu, Angie tak bisa tidur. Memikirkan dampak bila papanya benar – benar di-PHK. Ia membayangkan dirinya gelandangan, tidur dengan rumah kardus, laptopnya dijual dan HP kesayangannya terjual, rumahnya disita oleh aparat, mobilnya sudah diambil oleh kantor, ia menjadi penjual koran, tidak bersekolah, dan setiap harinya hanya mengamen di pinggir trotoar, melihat Angel cs naik mobil untuk hang out ke suatu mall, dan mengejeknya dari dalam mobil. ”Oh Tuhan, janganlah hal itu terjadi. Mengerikan,” kata Angie merinding saat membayangkan hal itu terjadi. Ia berdoa kepada Tuhan ,”Oh Tuhan, mengapa hal ini terjadi? Bosan aku begini terus.” Tak lama, tertidurlah ia.
*************
                Sudah seminggu ia menjalani kewajibannya membantu mamanya. Rasa kekecewaan dan kejengkelannya pun sirna sudah. Setelah dua minggu, tiga minggu bahkan sebulan ia sudah jalani, namun Bi Inah belum kembali juga bekerja di rumahnya, belum ada kabar. Setelah sebulan, ia baru sadar, menjadi pembantu tidaklah mudah. ”Ya Tuhan, kasihan Bi Inah kalau bekerja seperti ini setiap hari,” kata Angie, saat hari minggu ia mendapat tugas untuk mengepel rumah, sambil mengelap peluhnya yang bercucuran. ”Tuh kan. Salahmu sendiri. Siapa suruh bentak – bentak Bi Inah. Gara – gara kamu bentak setiap hari, jadinya ia nggak mau kembali,” kata mamanya, dari arah dapur. Mendengar hal itu, tenggorokan Angie serasa tercekat. ”Yakin hal itukah alasannya?” tanyanya memastikan jika alasan mamanya benar. ”Mungkin,” jawab mamanya, yang membuat Angie agak lega.
Oh, iya, sang papa tidak jadi dipecat. Setelah 2 bulan kebenaran dibuktikan. Ternyata, ada seorang teman papanya yang menjelaskan ke bosnya, dengan bukti – bukti yang ia dapat dari ponselnya, bahwa yang mencuri uang administrasi kantor bukanlah papanya, melainkan temannya yang iri akan kualitas kerjanya yang mengambilnya. Sang bos pun sungguh sangat minta maaf kepada ayahanda Angie. Dan sang pelakunya sudah dipenjara dan mendapat hukuman yang layak.
Sudah 2 bulan lebih, Bi Inah belum ada kabar juga. ”Ma, kapan Bi Inah kembali? Angie kangen berat,” ucap Angie saat sepulang sekolah. ”Wah, wah, tumben. Ya sudah kalau kamu libur ya? Atau besok minggu sehabis pulang Gereja, kita langsung ke sana,” usul mama. Mendengar usul mamanya, Angie langsung melonjak kegirangan. ”SETUJU!” teriak Angie saat itu juga. ”Tapi tanya papa dulu ya,” jawab mamanya. ”Halah, pasti papa setuju deh,” Angie menimpali.
Hari minggu yang ditunggu – tunggu telah tiba. Rumah Bi Inah ada di Mojokerto, sedangkan rumah Angie ada di Surabaya. Butuh sekitar 1-2 jam untuk menempuhnya. Tak lupa mereka membawa sesuatu untuk Bi Inah, dan juga bekal mereka. ”Teman – teman, thanks ya atas kepedulian kalian kepadaku. Sekarang, aku bukanlah Angie yang dulu, acuh terhadap orang lain, tetapi sekarang aku lebih peka dari yang kalian duga. Terima kasih terutama buat kamu, Lala. Dan juga buat kamu, Echa. Khotbah dan ceramahmu tak sia – sia,” kata Angie saat membuat note di Facebooknya. Ia menge-tag semua teman – teman yang membantunya, dari ponselnya.
2 jam telah berlalu. Sampailah ia di rumah mungil beranyamkan rotan temboknya. Sawah – sawah pun menambahi indahnya alam Desa Sentosa Jaya, tempat kediaman Bi Inah. Saat mereka sampai di rumahnya Bi Inah, betapa kagetnya Angie melihat keadaan rumah Bi Inah, yang seharusnya tidak layak ditinggali. ”Permisi,” sapa mamanya saat sampai di depan pintu rumah Bi Inah. Hening. Tak ada yang menjawab. ”Permisi,” sapa mamanya sekali lagi. Tak lama kemudian keluarlah anak perempuan, kira – kira seumuran Angie, menyambut mereka. ”Oh, nyonya Santoso dan bapak. Silahkan masuk.” Anak perempuan itu memang kenal majikan ibunya, karena Pak Santoso sering berkunjung ke rumahnya.
Angie hanya bisa melongo melihat kondisi rumah Bi Inah. ”Kaget ya?” kata mamanya saat melihat Angie antusias melihat atap rumah Bi Inah ada yang jebol. ”Ma, kalau hujan, gimana mereka dengan nasib atap yang seperti ini?” tanya Angie dengan berbisik. ”Hush. Ini rumah orang, sayang. Jaga perkataan dan jaga etika. Supaya tidak tersinggung,” jawab mamanya dengan berbisik pula.
Tak lama keluarlah Bi Inah, dengan berpakaian daster batik ala kadarnya. ”Oh, nyonya, silahkan diminum dulu minumnya. Maaf terlalu sederhana,” kata Bi Inah sambil membawa 3 gelas teh hangat, karena cuaca di sana lumayan dingin. ”Halah bibi. Kayak nggak tau kami saja. Kami kan sudah pernah ke sini. Jadinya kami sudah biasa,” jelas papanya, dengan nada bercanda. Bi Inah hanya tersenyum. ”Non Angie, maaf minumnya biasa saja,” kata Bi Inah rendah diri. ”Ngga papa koq, Bi. Santai aja,” jawab Angie dengan senyum. ”Oh iya, bi, gimana keadaan Hendra?” tanya mamanya langsung to the point.
Dengan muka yang sedih dan mata yang berkaca – kaca, Bi Inah menceritakan anaknya yang pertama, Hendra yang sudah meninggal seminggu yang lalu. ”Maaf nyonya, saya tidak bisa kembali bekerja. Saya sedih. Karena Anik tidak ada yang menemani. Kasihan dia sendirian di rumah ini. Saya harus menjaga anak saya,” katanya sambil bercucuran air mata. Mendengar hal itu, sang nyonya pun ikut menangis. ”Kami turut berdukacita, Bi. Semoga ia tenang di alamnya,” kata nyonyanya. Angie pun merasa sedih mendengarnya, dan rasa sedih yang ia rasakan tidak sesedih yang biasanya ia rasakan sebelumnya. ”Oh iya bi, ini ada sesuatu dari kami. Maaf terlalu sederhana buat bibi, tapi semoga berguna buat bibi dan keluarga,” kata Angie, sambil memberikan parsel dan beberapa buah – buahan di dalamnya. Bi Inah menghapuskan air matanya. ”Wah, non. Ini bukan sederhana lagi namanya. Terima kasih banyak ya Bapak, Ibu, non Angie. Semoga Allah SWT membalas budi baik kalian,” katanya sambil menerima bingkisan itu. Angie dan kedua orangtuanya merasa terharu, karena parsel merupakan hal yang biasa bagi mereka, bahkan kurang high class istilahnya.
”Bi, yakin nggak mau bekerja lagi?” tanya Pak Santoso, yang sekian lamanya diam, akhirnya angkat bicara juga.
”Saya yakin, tuan. Saya minta maaf sekali”
Tapi bibi nggak bekerja bukan karena Angie kan?” tanya Angie yang pertanyaannya tidak disangka – sangka oleh kedua orang tuanya. ”Ya ndak lah non. Bibi nggak bekerja karena kasihan Anik, siapa yang ngurus bayar uang sekolahnya, siapa yang masak dia makan. Kasihan,” jelas Bi Inah. ”Kalau itu alasannya, kenapa Bibi dan Anik tidak tinggal saja di rumah kami? Masih ada banyak kamar buat kalian,” kata mamanya.
”Wah, nyonya. Saya juga harus mengurusi sawah ini, karena ini satu – satunya warisan dari bapak saya, dan sumber hidup saya. Kalau saya bekerja, saya tidak tahu siapa yang mengurus sawah ini?” perjelas Bi Inah, yang membuat mereka terdiam beberapa saat. Tak beberapa lama kemudian, Pak Santoso berbicara,”Bibi ada kerabat atau saudara di tempat ini?” Bibinya pun menjawab,”Nggak ada, Pak.” Suasana hening beberapa saat pun terjadi.
Gimana kalau Bibi dan Anik tinggal di rumahku, terus sawah yang mengurus nanti kita sewa orang?” usul Angie. ”Mm. Begini non, Bibi trauma jika sawah ini dipegang orang lain. Karena pernah kasus begitu, non. Saya nggak berani lagi percaya dengan orang lain, selain orang yang saya kenal. Orang kampung saya juga tidak ada yang mau merawat sawah saya selain saya sendiri,” jawab Bi Inah, yang membuat mereka tidak memaksa Bi Inah kembali ke rumah mereka. ”Ya semua terserah bibi lah. Kita juga tidak memaksa Bibi kembali bekerja kalau alasannya seperti ini,” jawab mama kemudian.
”Kalau bibi tidak mau bekerja lagi, Angie mau minta maaf atas kelakuan Angie yang dulu – dulu. Sering kasarin bibi, padahal kerjaan bibi nggak gampang ternyata,” kata Angie yang membuat kedua orangtuanya kaget, karena baru pertama kalinya Angie berani minta maaf kepada orang yang telah ia berbuat salah. ”Ah, non. Lupakan saja. Bibi memaklumi sikapmu. Rata – rata seperti itu. Tapi non sekarang beda ya? Bibi sudah maafkan,” jawab Bibi. Dan mereka pun berpelukan, dan sekali lagi membuat kedua orang tuanya terkejut bin kaget. Biasanya Angie paling jijik melihat orang – orang seperti Bi Inah, apalagi memeluknya. Orang tuanya hanya bisa geleng – geleng kepala.
Lalu Angie mengeluarkan sesuatu dari tas pink-nya. ”Ini buat bibi. Semoga membantu bibi,” katanya sambil memberikan kotak kecil yang isinya uang sebesar Rp. 300.000,00. ”Walah non apa –apaan? Repot banget,” kata Bibi agak menolak pemberian Angie, yang sekali lagi tidak disangka oleh kedua orang tuanya. ”Udahlah bi. Ini halal. Angie nggak nyolong, nggak nyuri. Ini tabungan Angie buat bibi. Angie masih punya banyak lagi tabungan Angie di ATM. Terimalah, Bi. Angie mohon,” katanya memohon. ”Makasih ya non. Nggak nyangka non bisa seperti ini. Tuhan non luar biasa. Sekali lagi makasih ya tuan, nyonya dan non Angie,” katanya sambil menangis. Mereka bertiga tersenyum.
Mereka menghabiskan 3 setengah jam untuk berbincang – bincang. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul setengah lima. Mereka pun pamit untuk pulang. ”Bi sudah malam. Kami pamit dulu ya. Besok juga Angie ada ulangan,” pamit Pak Santoso kepada Bi Inah bersama Anik. ”Iya tuan. Hati – hati,” kata Bi Inah. ”Nik, aku duluan ya. Ntar kapan – kapan aku ajarin kamu facebookan ya. Gampang koq,” pamit Angie pada Anik. Mereka sudah kenal lumayan baik. ”Eh, Angie, kapan – kapan ke sini lagi ya! Aku kenalin sama playboy desa. Hehehehe,”jawab Anik.
Playboy desa?”
”Iya. Sukanya ganti – ganti cewek melulu.”
”Wah. Aneh – aneh kamu ini. Kamu gantian. Kapan – kapan kalau lebaran atau kenaikan kelas, ke rumahku. Belum pernah to?” jawab Angie, yang membuat Anik mengangguk. ”Dada,” kata Angie sambil melengos ke tempat dimana mobilnya diparkirkan.
****************
”Salut sama kamu, ngie. Anak Tuhan, dan juga anak papa,” puji papanya saat dalam perjalanan pulang. ”Iya, mama bangga punya anak seperti kamu, sudah bisa mandiri tanpa Bi Inah,” sambung mamanya. ”Iya, ma. Ini semua berkat Tuhan, dan juga proses dan omelan mama. Ya jadinya kayak gini. Hehehehe,” jawab Angie sambil terkekeh, yang membuat kedua orang tuanya ikut tertawa juga. Senangnya bisa berbuat lebih hari ini, kata Angie dalam hati.
*****************
  

No comments:

Post a Comment